Suku Gayo atau
"urang gayo" adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi
Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah, Populasinya berjumlah kurang
lebih 600.000 jiwa. Orang Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah (sekitar 30 - 45%) dan Gayo Lues (sekitar 50 - 70%) dan sebagian wilayah
Aceh Tenggara dan 3 Kecamatan di Aceh Timur yaitu
Serbejadi, Peunaron, dan Simpang Jernih. Suku Gayo beragama Islam
dan mereka dikenal taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan sehari-hari mereka.
Bahasa
Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai
bahasa sehari-hari oleh masyarakat Suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa
Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan bahasa Suku Batak Karo di Sumatera Utara. Bahasa Gayo digunakan dan
terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah,
Bener Meriah, Gayo Lues, sebagian wilayah Aceh Tenggara, dan Kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur.
Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti Suku Gayo. Bahasa ini termasuk
kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari
rumpun bahasa Austronesia. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar Bahasa Gayo
turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop,
sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan
Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih
dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang,
sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara.
Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena
interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas
Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara. Dialek pada suku Gayo, menurut M.J.
Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari sub- dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan
Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues
terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri
meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak.,
dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi
(Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek
Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama
atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana
dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1). Dalam bahasa Gayo, (memanggil
seseorang) dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan
santun dan rasa hormat. Pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda)
Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang
lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Bahasa Gayo
Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Marga
Walaupun sebagian besar masyarakat
suku Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil masih ada
yang menabalkan atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang bermukim
di wilayah Bebesen.Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/Garis keturunan
Individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di pentingkan
Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo
- Ariga
- Cibero
- Linge
- Melala
- Munte
- Tebe
- Alga
Sejarah
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo
pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari
keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari
Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa
sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4
orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang
lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga
(Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke
tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal
dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang
bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri
di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo,
yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke
daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan
Daya di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di
Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara
dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui.
Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi
bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih
untuk mengembara.[2]
Dinasti
Lingga
- Adi Genali Raja Linge I di Gayo
- Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
- Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
- Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri
Kesultanan Samudera Pasai), dan
- Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
- Raja Lingga III-XII di Gayo
- Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh.
Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin
oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi
kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan
Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau
(Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo
tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya
dua era
- Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
- Raja Kalilong Sibayak Lingga
Rumah Adat Gayo Pitu Ruang
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti
kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik.
Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim.
Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak
opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem
(imam), dan rayat (rakyat).
Pada masa sekarang beberapa buah
kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan
terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai
yang mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh
beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa
berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan
tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik
berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem
perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah,
dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal
(juelen) atau matrilokal
(angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil
disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti
disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal
bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa
buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa
sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang
Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah
dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.
Selain itu ada penduduk yang
berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan.
Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata
pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat keramik dan anyaman
pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu
daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi.
Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat
sulaman kerawang dengan motif yang khas.
Seni
Budaya
Kubur tradisional orang Gayo
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan
masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan
bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi,
bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan,
sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari
Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa),
guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Dalam seluruh segi kehidupan, orang
Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku
untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu).
Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen,
yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel).
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang
ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai
tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh
masyarakat Gayo.
Seni
dan Tarian
Makanan
Khas
- Masam Jaeng
- Gutel
- Lepat
- Pulut Bekuah
- Cecah
- Pengat
- Gegaloh
- Danau Laut
Tawar, Takengon (Aceh Tengah)